Jumat, 01 Januari 2016

Objek Wisata dan Adat Istiadat serta Kegiatan Sosial di Kecamatan Muara Kaman Museum Purbakala Muara Kaman atau Museum Kutai Mulawarman Ing Martadipura merupakan sebuah museum yang terletak di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Museum ini merupakan museum ketiga yang didirikan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara setelah Museum Mulawarman dan Museum Kayu Tuah Himba yang berada di Kota Tenggarong. Cikal bakal didirikannya Museum Purbakala Muara Kaman ini merupakan saran dari para arkeolog dari Universitas Negeri Malang yang pada saat itu melakukan penelitian benda-benda purbakala yang ada di Kecamatan Muara Kaman. Dikarenakan ditemukan banyaknya benda-benda purbakala oleh warga antara tahun 1991-1994, seperti guci, keramik cina, kepingan perunggu, hingga patung-patung emas, maka pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara mendirikan Museum Mulawarman Ing Martadipura ini sebagai wadah bagi benda-benda purbakala tersebut disimpan. Menurut sejarah Muara Kaman yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Kutai pada abad ke-4 masehi dengan rajanya yang terkenal Mulawarman. Sehingga tak dipungkiri bila banyak terdapat sisa-sisa benda purbakala yang ada di daerah tersebut. Dengan adanya museum purbakala ini pemerintah mengharapkan benda-benda purbakala yang ditemukan dapat dilestarikan. Situs-situs yang terdapat di komplek museum purbakala Muara Kaman merupakan tujuh buah replika prasasti acara 10.000 ekor kerbau yang dilakukan oleh Raja Mulawarman. Selain itu ada pula temuan barang-barang purbakala yang terkumpul dari temuan masyarakat seperti guci, piring, gelas, tempayan, tombak. Terdapat pula batu prasasti yang belum sempat dipahat dan posisinya masih tergeletak. Diluar gedung museum tetapi berada di salah satu lokasi terdapat komplek makam yang diduga merupakan makam raja-raja Islam dan batuan purbakala yang diyakini sebagai Candi oleh masyarakat setempat yang diberi nama Lembu Ngeram. Untuk mengunjungi Museum Purbakala Muara Kaman pengunjung dapat menempuh jalur darat maupun jalur sungai. Jika melalui jalur sungai dapat berangkat melalui Pelabuhan Sungai Kunjang. Selain itu juga dapat melalui jalan darat dari Samarinda-Tenggarong menuju arah Kecamatan Kota Bangun. Sebelum sampai Kota Bangun, langsung berbelok ke Kecamatan Muara Kaman dan dilanjutkan dengan menyeberang menggunakan ketinting. Sedangkan untuk jalur darat dapat menggunakan mobil dari Samarinda melalui Teluk Dalam, Separi, Sebulu dan Muara Kaman. Kecamatan Muara Kaman secara geografis berjarak kurang lebih 89 Km atau 2 jam perjalanan dari Kota Tenggarong. Adapun tentang erau muara kaman, upacara adat mulawarman yang di jadikan Event Upacara Adat dalam Visit Indonesia Year merupakan seni dan budaya peninggalan kerajaan Kutai Martadipura yang sering disebut kerajaan Kutai Mulawarman. Adapun maksud dan tujuan Erau Muara Kaman ini merupakan untuk mendukung program pemerintah, khususnya dinas pariwisata dan budaya yang dikemas dalam sebuah event upacara adat serta memperingati hari jadi kota mulawarman ke 1665 tahun dan HUT Kecamatan Muara kaman ke 115. Acara tersebut ditujukan untuk menambah rentetan peta wisata budaya. Kegiatan erau dilaksanakan oleh panitia pelaksanan dari lembaga adat kerajaan Kutai Mulawarman yang didukung oleh Pemkab Kutai kartanegara dan Seluruh Lapisan Masyarakat Muara kaman. Diharapkan tampilan acara erau ini mampu menunjukkan dan menjadi peta wisata budaya Kutai kartanegara, selama pelaksanaan Erau itu, berbagai acara adat dilaksanakan diantaranya Upacara Nyahu Mantang Tubing Yang dilaksanakan 7 hari sebelum acara dimulai, Upacara Jamu Benua yang dilaksanakan di tiga tempat yaitu kepala benua di Bukit Martapura, tengah benua di bukit Tanjung Gelumbang, dan Burit Benua di Lebak Pompong. Serta upacara Maharaja Bedudus dan bepelas raga dan pusaka. Pembukaan Upacara adat Mulawarman dan acara pasar rakyat, upacara adat merangin selama 7 malam, pembacaan Haul dan Jiarah kubur hari ke 6, malam hiburan rakyat dan Umum selama 7 Malam, olahraga tradisional selama 7 Hari, pasar rakyat selama 10 malam. Acara penutupan upacara adat Mulawarman dan Pasar Rakyat dengan rangkaian Melaboh Jukut Baong Putih Kesungai Mahakam dan Melaboh Lipan di Danau Lipan seluruh rangkaian acaran ditutup dengan belimbur. Pada masa kini, Kabupaten Kutai Kartanegara telah menjadi salah satu Daerah Tujuan Wisata Unggulan di Provinsi Kalimantan Timur dengan berbagai peninggalan budaya pada masa Kerajaan Kutai yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung. Pesona wisata di Kutai Kartanegara secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok besar, yakni pesona alam dan pesona budaya. Muara Kaman memiliki warisan budaya yang memberi pesan dan kesan kepada generasi penerusnya bahwa di wilayah ini pernah ada kehidupan yang memiliki budaya tinggi. Warisan tersebut mencakup berbagai seni budaya seperti senit ari, seni kriya, tenun, dan seni pahat, peninggalan arkeologi dan tradisi. Bahkan kekayaan seni budaya tersebut masih sangat kental dan menjadi suatu pemandangan yang eksotik yang dapat ditemukan dalam keseharian penduduk setempat. Peninggalan seni dan budaya ini masih dapat disaksikan terpahat di prasasti peninggalan kerajaan Hindu Kutai Ing Martadipura seperti situs-situs, makam-makam raja, Istana Sultan, dan tempat-tempat lain yang masih berkaitan dengan kehidupan seni budaya di Kutai Kartanegara. Peninggalan situs jaman kolonial Belanda juga masih dapat ditemui di Muara Kaman, karena salah satu tempat pernah terjadi peristiwa heroik. Warisan budaya yang dimiliki ini bukanlah sekedar benda mati tanpa makna, namun semua warisan budaya ini perlu dilestarikan dan diteliti lebih dalam lagi menyangkut nilai-nilai kearifan masa lalu yang mungkin dapat diaktualisasikan kembali saat ini. Kearifan masyarakat suku Dayak yang hidup berdampingan dengan alam merupakan cermin yang selalu relevan pada setiap masa. Nilai – nilai luhur ini perlu dilestarikan dan dijaga, sehingga kelestarian peninggalan budaya dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam pembangunan kecamatan Muara Kaman. Beberapa pesona budaya yang sudah dikembangkan menjadi objek wisata, diantaranya. Kompleks Makam Sultan Kutai Kartanegara berada dalam satu kawasan dengan Kedaton Kutai Kartanegara dan Museum Mulawarman. Di kompleks ini terdapat 142 makam para kerabat dan Sultan Kutai Kartanegara. Nisan (jirat) para Sultan serta kerabat Kesultanan Kartanegara terbuat dari kayu besi (ulin) dan terukir tulisan Arab. Dilihat dari berbagai nisan yang ada di kompleks pemakaman ini, diindikasikan terdapat percampuran kebudayaan yang tercermin pada bentuk nisan. Ragam hias yang terdapat pada nisan di Makam Sultan Kutai Kartanegara menyerap unsur budaya lain seperti budaya Bugis, Makassar, Dayak, dan Islam. Percampuran budaya tersebut terlihat dari kekhasan ragam hias yang diwakili dan dimiliki oleh masing-masing budaya yang tercermin pada ragam hias di Makam Sultan Kutai Kartanegara. Masing-masing kekhasan tersebut merupakan:  Ragam hias Makassar: helai mawar, mawar, bonggol bunga, lingkaran, swastika, tumpal, belah ketupat, dan ular.  Ragam hias Bugis: bintang, belah ketupat, helai mawar, tumpal, dan gada  Ragam hias Dayak: pelipit, mawar, gada (blontang), dan ular.  Ragam hias dengan pengaruh Islam: kaligrafi, swastika banji dan stilir ekor, bingkai cermin, kepala dan badan ular. Pengaruh beberapa kebudayaan tersebut dapat ditelusuri lewat beberapa hal, misalnya pemerintahan (kebijakan kerajaan) yang memberikan kebebasan terhadap masuknya budaya pendatang dan faktor kekerabatan antara penguasa Kutai Kartanegara dengan etnis lain di luar Pulau Kalimantan. Faktor kerajaan yang memberikan tempat bagi masuknya budaya luar dan memberikan tempat bagi budaya asli (Dayak) tercermin lewat pedoman pemerintah Kesultanan Kutai Kartanegara yang disebut Panji Salaten. Desa Budaya Dayak Kenyah Lekaq Kidau merupakan salah satu obyek wisata yang menyajikan berbagai keunikan, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga adat istiadat. Di dusun ini, dapat disaksikan langsung aktivitas keseharian masyarakat Dayak Kenyah bercocok tanam dengan menggunakan peralatan sederhana. Selain itu, dapat juga menyaksikan kaum perempuan menguntai manik-manik menjadi gelang, kalung, tas punggung, ikat kepala, tameng, dan hiasan kepala.Masyarakat adat Suku Dayak Lekaq Kidau masih teguh menjalankan berbagai tradisi dan adat istiadat nenek moyang mereka. Meskipun telah ditempatkan seorang kepala desa, namun dusun ini tetap dipimpin oleh seorang kepala adat yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah adat, misalnya perselisihan di antara para warga. Bagi yang dianggap bersalah, maka akan mendapat hukuman denda sesuai dengan perbuatannya, seperti denda dengan mandau, tajau, uang, dan sebagainya. Pada waktu-waktu tertentu, seperti ulang tahun desa, hari natal, tahun baru, atau ketika musim panen, masyarakat setempat mengadakan Festival Budaya Adat Dayak Kenyah Lekaq Kidau dengan menggelar kegiatan seni budaya, seperti tari-tarian dan upacara adat. Dalam festival ini juga diisi dengan berbagai kegiatan olahraga tradisional, seperti begasing, menyumpit, dan lomba perahu tradisional. Pemberdayaan sektor wisata menjadi prioritas Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah dikumandangkan sejak tahun 2000 silam, dan kini sedikit demi sedikit mulai menampakkan hasil yang nyata.Muara Kaman merupakan daerah cikal bakal berdirinya Kerajaan Kutai pada abad ke-4 dengan rajanya yang terkenal yakni Raja Mulawarman. Muara Kaman yang dalam lembar Sejarah Nasional Indonesia diklaim sebagai sentral Kerajaan Hindu tertua pada abad ke IV di negeri ini, disebut sebagai tonggak awal penelusuran Kerajaan Kutai atau Kerajaan Kutai Martadipura. Bukti jejak sejarah itu terpahat dalam 6 Prasasti Yupa, yang mengkisahkan: area Kerajaan Kutai terletak di Muara Kaman. Prasasti Yupa juga mencatat bahwa Raja Kudungga disebut sebagai pendiri kerajaan. Salah satu bukti bekas peninggalan Kerajaan Kutai yang masih dapat dijumpai di Muara Kaman merupakan sebuah batu berbentuk balok panjang yang disebut Lesong Batu. Batu ini lah yang menjadi bahan untuk membuat prasasti yupa pada masa kejayaan kerajaan Hindu tertua di Indonesia tersebut. Lesong Batu ini merupakan peninggalan sejarah yang masih tersimpan secara utuh di Muara Kaman. Lesong Batu merupakan salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Hindu Kutai dibawah kepemimpinan Raja Mulawarman Nala Dewa. Yupa berasal dari bahasa Sansakerta, yang artinya tegak. Batu tegak berbentuk balok panjang yang disebut Lesong Batu itu, dulunya dalam posisi berdiri, kini berbaring diatas tanah. Selain Lesong Batu, di lokasi ini masih dapat dijumpai sisa-sisa peninggalan Kerajaan Kutai, seperti batu kepala babi, kubu-kubu kuno, dan lain-lain. Pesona alam yang dimilikinya kini mulai di kemas dan di kelola sedemikian rupa menjadi obyek – obyek wisata yang menarik minat banyak orang. Beberapa pesona alam di kabupaten Kutai Kartanegara yang sudah dikembangkan menjadi obyek – obyek wisata antara lain : Obyek wisata alam Bukit Bangkirai merupakan sebuah kawasan konservasi hutan yang terletak di Km. 38 Jalan Raya Soekarno – Hatta, Balikpapan – Samarinda, dan masuk wilayah Kecamatan Samboja. Kawasan wisata alam Bukit Bangkirai merupakan hutan alam yang dekat dengan wilayah perkotaan, digunakan sebagai monumen hutan tropis di Kalimantan Timur, didominasi oleh jenis flora dari famili Dypterocarpaceae seluas 1.500 Ha. Bukit Bangkirai diresmikan pada tanggal 14 Maret 1998 oleh Ir. Djamaluddin Suryohadikusumo yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan Kabinet Pembangunan VI. Kawasan ini mempunyai peran penting untuk sarana pendidikan lingkungan wisata ilmiah dan kehutanan. Borneo Orangutan Survival Foundation Samboja Lembaga ini terdiri atas 3 pengelolaan, yaitu BOS, Samboja Lestari, dan Samboja Lodge. Borneo Orangutan Survival merupakan program suaka perlindungan untuk hewan – hewan yang dilindungi dan sudah mulai punah, yakni Orangutan dan Beruang Madu. Awal sejarah berdirinya BOS tahun 1991 merupakan proyek rehabilitasi Orangutan. Program ini sangat cocok untuk dijadikan wisata pendidikan dan penelitian. Samboja Lestari merupakan program yang mengedepankan misi kelestarian lingkungan di dalamnya. Samboja Lodge merupakan sarana cottage, yang menawarkan beberapa program ekowisata antara lain rehabilitasi satwa, kegiatan lahan kritis, kegiatan kebun organik, kegiatan pembuatan pupuk organik, dan pengamatan kehidupan liar yang ada di sekitar kawasan Borneo Orangutan Survival Foundation Samboja. Danau Semayang Daya tarik wisata Danau Semayang termasuk salah satu fenomena alam yang menyuguhkan keindahan dan potensial alam dan dapat diberdayakan menjadi obyek wisata alam unggulan. Di tempat ini, masih dapat ditemui habitat Ikan Pesut atau Lumba - Lumba Air Tawar yang saat ini sudah hampir punah, bahkan jarang ditemui. Para pengunjung yang melalui Danau Semayang khususnya pada sore hari dapat menikmati keindahan alam ketika matahari terbit di ufuk timur atau pada saat ter- benam di ufuk barat. Kabupaten Kutai Kartanegara masih memiliki sejumlah pesona alam lainnya yang tak kalah menarik, dan siap untuk dikembangkan menjadi obyek wisata unggulan, seperti Danau Melintang, Pantai Tanah Merah, Pantai Ambalat, dan Pulau Pangempang. Guna mewujudkan Kutai Kartanegara sebagai daerah tujuan wisata, tidak terlepas dari peranan seluruh komponen masyarakat, pelaku usaha dan jasa pariwisata, serta pemerintah daerah. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta yang telah dikaruniai tanah air yang melimpah, adat, budaya, para leluhur dan pejuang bangsa, maka Paguyuban Ini Bangsaku melakukan kegiatan berupa Sedekah Bumi, Khataman Al Quran dan pemberian santunan kepada anak Yatim di Kecamatan Muara Kaman pada tanggal 15 September 2015. Dalam kegiatan kali ini bekerja sama dengan BPK BKPRMI Kecamatan Muara Kaman. Kegiatan dimulai dengan pemotongan dua ekor sapi yang kemudian dagingnya dibagikan kepada yang berhak. Sedangkan bagian kepala, ruas kaki dan ekor dikembalikan kepada alam dengan cara dihanyutkan ke sungai (larung atau ngamplas) dan ditanam di tanah yang berlokasi di belakang museum Kerajaan Kutai Martadipura. Kegiatan ini dipimpin langsung oleh pemangku adat setempat.Siang harinya, selesai sholat dhuhur dilanjutkan dengan khataman Al Quran di masjid Muara Kaman Hilir. Kegiatan sekaligus merupakan wisuda bagi santri Taman Pendidikan Al Quran yang ada disana, dimana terdapat 26 santri yang diwisuda. Pada kesempatan ini juga dibagikan santunan kepada anak-anak yatim berupa uang dan seperangkat alat tulis beserta tas. Ditampilkan pula mengisi tauziah, juara 2 lomba da’i cilik tingkat kebupaten Kutai Kartanegara, acara ditutup dengan pembacaan surat Yaasiin dan Maulid Habsyi serta do’a bersama.Muara Kaman adalah tempat yang penting bagi sejarah peradaban di Indonesia. Di sana terdapat situs bersejarah peninggalan Kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang pernah ditemukan. Situs tersebut adalah peninggalan Kerajaan Kutai Martadipura, lebih dikenal dengan nama kerajaan Mulawarman. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada abad ke-4, dengan rajanya yang terkenal Maharaja Mulawarman Nala Dewa. Kekuasaan Keturunan Raja Mulawarman berlanjut hingga raja ke-25 yang bernama Maharaja Derma Setia (abad ke-13) hingga kemudian ditaklukkan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Namun kini tempat bersejarah tersebut telah banyak dilupakan orang. Masa kejayaannya sudah lama berlalu, dan kini hanya menjadi sebuah kecamatan terpencil di tengah Pulau Kalimantan. Sejarahnya pun tak banyak diketahui orang, hingga banyak yang mengira bahwa Kutai Kartanegara yang dikenal sekarang adalah kelanjutan dari Kutai Martadipura, padahal kedua kerjaan itu adalah kerajaan yang berbeda. Di Kalimantan Timur, Paguyuban Ini Bangsaku sebelumnya juga telah melakukan kegiatan ziarah di beberapa makam leluhur Kalimantan Timur seperti makam Raja-Raja Kutai Kartanegara baik yang di Kutai Lama maupun Tenggarong, makam Daeng Mangkona di Samarinda Seberang, makam penyebar agama Islam di di Balikpapan seperti Habib Hasyim, Syarifah Fatimah binti Al Idrus dan makam keramat di Sungai Wain Km 15 Balikpapan. Muara Kaman bagi masyarakat Kutai Kartanegara sudah tak asing lagi. Letak wilayah memang cukup terpencil. Secara geografis, Muara Kaman terletak sekitar 110 kilometer ke arah hulu aliran Sungai Mahakam dari Kota Samarinda. Untuk menuju ke daerah itu tidaklah terlalu sulit. Ada dua jalur yang bisa digunakan yakni; melalui jalan darat atau jalur sungai dengan menggunakan kendaraan air. Muara Kaman yang dalam lembar Sejarah Nasional Indonesia diklaim sebagai sentral Kerajaan Hindu tertua pada abad ke IV di negeri ini, disebut sebagai tonggak awal penelusuran Kerajaan Kutai atau Kerajaan Kutai Martadipura. Bukti jejak sejarah itu terpahat dalam 6 Prasasti Yupa, yang mengkisahkan: area Kerajaan Kutai terletak di Muara Kaman. Prasasti Yupa juga mencatat: Raja Kudungga disebut sebagai pendiri kerajaan. Ia memiliki 3 orang putra, salah satunya bernama Mulawarman. Mulawarman inilah raja termasyur yang pernah menyedekahkan 20.000 ekor lembu kepada para Brahmana. Untuk memperingati hal itu, para Brahmana mengukirnya dalam Prasasti Yupa. Penemuan Prasasti Yupa adalah bagian napak tilas yang "membongkar" keberadaan Kerajaan Martapura. Yupa, yang bertuliskan huruf pallawa, disebutkan berjumlah 7 buah dalam catatan 6 Yupa yang telah ditemukan sebelumnya. Dan satu Yupa belum diketemukan. Hasil penelitian arkeologis, awal September 2005 tahun lalu, Lesong Batu yang kini berada di Muara Kaman oleh Dwi Cahyono, Arkeolog asal Univesitas Negeri Malang, diyakini sebagai Yupa yang belum terlacak. Apa yang oleh masyarakat dinamakan sebagai "Lesong Batu" itu, sangat dimungkinkan adalah Yupa ungkapnya saat diwawancarai melalui surat elektonik. Cahyono menjelaskan kata Yupa berasal dari bahasa Sansakerta yang artinya tegak. Batu tegak berbentuk balok panjang yang disebut "Lesong Batu" itu, dulunya dalam posisi berdiri kini berbaring diatas tanah. Keberadaan Kerajaan Kutai Martadipura ternyata bukan sekadar paparan tertulis dalam data sejarah. Semenjak ditemukannya bagian konstruksi candi oleh sebagian masyarakat Muara Kaman.Contohnya Asminan Ramadhan, sukarelawan setempat, yang selama ini peduli terhadap keberadaan benda-benda purbakala itu optimis, jejak Kerajaan Kutai Martapura dapat terungkap. Kita berharap dengan penelitian arkeologis selama ini teka-teki Kerajaan Martadipura akan cepat terjawab tuturnya, yang masih cucu seorang Pejuang Gerliya Nasional, Muso Bin Salim. Namun baginya yang pernah turut serta memperjuangkan project penelitian di Dewan Perwakilan Daerah yang selama ini telah memasuki tahap II, belum maksimal. Penelitian itu terlalu singkat. Tak jauh berbeda dengan pandangan Asminan, hal senada diungkapkan oleh Cahyono, yang menyayangkan alokasi waktu penelitian yang singkat. Sayang sekali, lagi-lagi ekskavasi Kami periode II di lokasi ini terbentur dengan pendeknya waktu riset keluhnya. Padahal dalam penelitian di Muara Kaman itu telah ditemukan situs makam kuno, gerabah, manik-manik dan perangkat dari logam semacam mata tombak. Seharusnya, penelitian arkeologis di lokasi ini dilanjutkan, sehingga hipotesis situs purbakala tersebut dapat semakin jelas dibuktikan yang sudah menganggap warga Muara Kaman seperti saudaranya sendiri. Penelitian arkeologis yang diagendakan tiga periode, dan baru berlangsung dua periode dari tiga periode yang direncanakan berdasarkan Memorandum Of Understanding antara Pemkab Kutai Kartanegara dan Universitas Negeri Malang masih perlu untuk terus dilanjutkan. Jika riset di Muara Kaman dilanjutkan, berarti ada harapan untuk menjadikan situs ini menjadi lebih bermakna pada masa mendatang. Tetapi, rencana penelitian itu terpulang kepada Pemerintah kabupaten dan masyarakatnya. Apakah situs Muara Kaman dibiarkan dengan segala misteri dan kegelapan sejarahnya, dibiarkan terancam kelestarian tinggalan budaya luhurnya, ataukah sebaliknya disikapi dan ditindaklanjuti secara bijak dengan melestarikan, dan mengembangkan memanfaatkannya. Tidak hanya memiliki nilai sejarah, situs purbakala Muara Kaman juga dinilai Edy Mulawarman sebagai aset daerah yang harus dilindungi dan dilestarikan. Kita harus bangga dengan keberadaan situs itu menurut Edy yang pernah memperjuangkan dana penelitian benda-benda purbakala tersebut di hadapan para Dewan. Seharusnya alokasi waktu penelitian di Muara Kaman tidak dipangkas, yang seharusnya 1 bulan, menjadi 20 hari. Kita berharap untuk penelitian selanjutnya, tidak sesingkat penelitian sebelumnya.