Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat
kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sangat
sedikit dan hanya sementara? Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan
yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin. Jawaban
yang sederhana adalah karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara
wajar mengingat apa yang telah dikatakan oleh Albert Einstein.
Ketika The Little Boy dan The Fat Man, dua bom atom AS,
membubungkan cendawan merah di langit Kota Hiroshima dan Nagasaki tepat 59
tahun lalu yang diperingati pekan lalu, siapa pun akan miris membayangkannya.
Wajah murka teknologi tampil beringas.
Sorotnya bukan cuma telah membumihanguskan kota
logistik nan cantik Hiroshima itu, melainkan juga menebarkan paparan radiasi
tinggi kepada penduduknya. Lalu ribuan orang mati terpanggang dan terkena efek
somatik-genetik radiasi pengion. Kemanusiaan kita pasti menyesalkan tragedi
itu. Namun, seberapa jauh kita bisa belajar dari peristiwa ini, menyikapi sains
dan teknologi secara arif? Ini adalah pekerjaan rumah kita bersama.
Sains dalam praksis telah berkembang dengan sangat
pesat. Ia yang semula terikat pada spiritualitas, terus bergeser ke arah
praksis. Sains yang awalnya lebih merupakan aktivitas mental primum vivere,
deinde philosophari (berjuang dulu untuk hidup baru setelah itu berfalsafah)
telah menjelma dalam praksis sebagai "penjelas" (explain) dan
"peramal" (predict) fenomena alam.
Namun, tonggak praksis sains yang paling menonjol
adalah apa yang terjadi dalam Revolusi Industri melalui penemuan mesin uap
(1769) oleh James Watt. Mimpi Francis Bacon dalam bukunya The New Atlantis
sebagai negara yang sarat hi-tech mewujud. Menurut Capra dalam The Turning
Point, "sejak Bacon, tujuan sains berubah menjadi pengetahuan yang
dihambakan untuk menguasai dan mengendalikan alam, yakni untuk tujuan-tujuan
yang antiekologis" (F Capra, 1997).
Bagaimana dahsyatnya revolusi yang mengawali era
modern itu digambarkan Peter Gay dalam Age of Enlightenment, bahwa betapa para pengusaha pabrik baru tanpa
kekangan hukum dan etika bergerak dengan penuh kekejaman dan tanpa norma
kesusilaan. Mereka memperkerjakan anak-anak selama 14, 16, atau 18 jam per
hari. Buruh terpaksa menerima peraturan-peraturan kejam, sedangkan hukuman bagi
yang melanggar sangat keras dan bengis (Peter Gay, 1966).
Akhirnya gerakan Luddite pada tahun 1811 meledak dan
menghancurkan mesin-mesin industri. Karenanya kenangan yang paling kuat atas
masa itu bukanlah pada aplikasi sains termodinamika dan teknologi mesin uap itu
sendiri, tetapi pada kenyataan bahwa James Watt telah mengubah struktur
masyarakat petani dan bangsawan Inggris serta membelahnya menjadi kaum
buruh-proletar dan majikan-borjuis yang saling bermusuhan, serta memunculkan
tokoh sebesar Karl Marx.
Ketika Soddy menemukan fenomena pembelahan inti
(nuclear fission) atau Enrico Fermi merancang reaktor pertama di bawah stadion sepak bola Universitas
Chichago, tak ada gegap gempita yang membahana. Namun ketika Manhattan Project
mengincar plutonium dari Reaktor B di Hanford Site, Nevada, beserta instalasi
pengayaan uranium-235 untuk The Little Boy dan The Fat Man, maka tatanan global
pun berubah. Bukan saja masyarakat Jepang yang kental dengan semangat Bushido
dan rela mati demi kaisar berubah menjadi manusia-manusia individualis yang
memandang miring Tenno Heika (kaisar), Kimigayo (lagu kebangsaan), dan Hinomaru
(bendera nasional), bahkan nuklir telah mengubah struktur kekuatan
politik-ekonomi global pasca-Perang Dunia II.
Perubahan
cepat
Kini gerak perubahan itu semakin cepat. Pertama, jarak
yang semakin pendek antara penemuan sains dengan aplikasi teknologi. Dalam
fisika atom, misalnya, dulu orang meneliti sama sekali tidak dengan maksud
memperoleh sumber energi baru, tetapi lebih pada rasa ingin tahu tentang
struktur terkecil materi. Namun, setelah ditemukan fenomena pembelahan inti,
maka fisika atom sudah menjadi teknologi.
Artinya, semakin lama jarak antara penemuan sains
dan produk teknologi semakin pendek. Di masa lalu selang waktu itu puluhan
tahun, akibatnya sains masih menjadi domain publik meskipun teknologinya
menjadi rahasia dagang yang diperjualbelikan. Namun, sekarang, selang waktu itu
menyusut menjadi tahunan saja karena konsentrasi pemikiran dan komunikasi
supercanggih antarsaintis. Akibatnya, sains pun menjadi rahasia dagang. Kedua,
perubahan posisi pusat-pusat keunggulan sains dan teknologi. Pusat-pusat keunggulan
yang semula berada di universitas ini telah berpindah ke lembaga riset pemerintah.
Kemudian dengan semakin pendeknya selang antara penemuan sains dan teknologi,
tajamnya persaingan dagang, serta nilai tingginya nilai ekonomis penemuan
sains, posisi ini diambil alih perusahaan.
Terjadi pergeseran paradigma (techno-paradigm shift)
di mana SDM menjadi modal utama perusahaan-bukan perangkat fisik lainnya-dan
perusahaan pun bukan sekadar memproduk barang dan jasa, tetapi pemikiran.
Bahkan, dalam banyak perusahaan manufaktur Jepang, investasi dalam riset jauh
lebih besar daripada investasi untuk modal dan berubah dari tempat untuk
memproduksi barang menjadi tempat untuk berpikir (Fumio Kodama, 1995).
Fenomena ini tampak pula pada industri di Silicon
Valley seperti Apple Computer, Intel, Hewlett-Packard, Xerox, Lucent Technology, dan IBM. Bahkan model
technology-belts seperti Silicon Valley digandrungi banyak negara seperti
Tsukuba (Jepang), Hsinchu (Taiwan),
industri kimia di Basel, Swiss, atau Puspiptek, Serpong. Artinya, perusahaan
telah menjadi center of excellence pengembangan sains dan teknologi.
Dengan demikian, semakin hari sains dan teknologi
makin terintegrasi dan tunduk pada mekanisme pasar. Riset akan lebih bersifat
market driven ketimbang academic driven. Bila demikian, bersama globalisasi,
korporasi multinasional (MNC) dapat mendiktekan teknologi asing pada suatu
negara. Ini harus diwaspadai karena mereka, menurut Stuart Sim dalam
Nirmanusia, adalah kapitalis lanjut yang nafsunya tiada berujung untuk
melakukan ekspansi dan inovasi teknologi untuk melenyapkan moralitas kemanusiaan
(Sim, 2001).
Karenanya perlu perlawanan terhadap nirmanusia, yakni
ambruknya kemanusiaan yang dirancang oleh teknologi maju. Manusia perlu
menentang segala solusi yang nirmanusiawi yang didukung oleh kekuatan-kekuatan
"tekno-sains", yakni teknologi plus sains, plus kapitalisme lanjut,
dan korporasi-korporasi multinasional.
Inilah awal tragedi seperti Minamata, Bhopal, Chernobyl, atau kasus Buyat
yang baru-baru ini merebak. Fenomena ini perlu dicermati karena kekuatan
investasi berhasil mendiktekan munculnya regulasi semacam UU Sumber Daya Air
dan UU Penambangan di Kawasan Hutan Lindung atau memenangkan Pemda DKI terhadap
KLH-dalam kasus reklamasi pantura-yang ujung- ujungnya memarjinalkan kualitas
ekologis kita.
Sejarah memperlihatkan, sains dan teknologi tidak serta-merta membawa
kebahagiaan dan membuat hidup lebih kita mudah. Penyelewengan teknologi telah
menjungkirbalikkan nilai manfaat itu. Karenanya teknologi secara aksiologis
perlu dikendalikan seperti etika manusiawi agar penyesalan Einstein di atas
menjadi bermakna. Perlu adanya suatu kearifan teknologi, yakni kearifan
bagaimana menggunakan teknologi secara wajar agar ia membawa berkah, bukan
bencana. Inilah yang perlu direnungkan saat memperingati tragedi
Hiroshima-Nagasaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar